Saya lahir di Manado pada tanggal 18 Juni 1952. Tepatnya di rumah sakit Gunung Wenang. Dibesarkan di Tondano, ibu kota Minahasa, pas di Jl. Sam Ratualangi. Tugu Sam Ratulangi hanya sekian ratus meter dari rumah saya tempat saya dibesarkan. Kebetulan rumah saya dekat pemakaman umum, hanya dua ratusan meter dari kubur Dr. Sam Ratulangi
Ayah saya beragama Islam, sementara ibu saya beragama Kristen. Paman saya ada yang menjadi Pendeta Kristen. Nenek saya dari pihak ibu adalah seorang guru pada zaman Belanda.
Perkawinan antara ibu dan ayah sangat ditentang oleh nenek dan keluarga besar ibu. Alasannya, sebab ayah saya beragama Islam.
Tapi, karena ibu saya tak dapat dihentikan oleh keluarga besar, akhirnya ibu nekad nikah secara Islam dan pindah ke kota Manado. Itu cerita dari ibu saya.
Masih menurut ibu saya, bahwa beberapa kali ayah saya datang ke rumah, baik sewaktu masih pacaran maupun ketika sudah nikah. Jangankan diterima dengan baik, malahan ayah saya hanya dikejar pakai parang panjang.
Ketika saya masih balita, ayah saya tertangkap melakukan penyeludupan ke Tawao. Oh ia.. ayah saya pedagang antar pulau, bahkan sering opsi (berdagang) ke Malaysia.
Ketika itu ayah saya putus hubungan. Setelah dibebaskan dari penjara, ayah saya kembali ke istri tua di tetangga Kabupaten (Gorontalo), tidak lagi datang menemui ibu saya di Manado.
Ibu tentu dalam keadaan tertekan secara ekonomi sehingga kembali ke oarang tua (nenek) yang sudah pasti sangat disambut gembira oleh neneka dan keluarga besar ibu saya.
Saya masih terbayang sampai sekarang ini ketika dihadapan seorang Pendeta Protestan, saya dipercik (dibaptis) sebagai salah satu seremony Gereja bagu yang mengaku Umat Kristen.
Ketika itu nama saya diganti dari Usman Hasan menjadi Willy Fredrik. Fredrik itu marga keluarga yang sangat dibanggakan, sedangkan Willy adalah nama kakek saya ( Wiliam). Setelah dibaptis maka saya masuk sekolah rakyat (SR).
Saya termasuk anak pintar, cerdas sekali (nggak maksud nyombong) Untuk pelajaran berhitung, saya selalu mendapat angka sepuluh.
Usai SMP_ saya masuk sekolah Gurui Injil (kursus kilat), setelah itu praktek beberapa tahun (gereja di desa-desa) sebagai Guru Injil.
Kemudian saya disekolahkan di Seminari Theologia, tapi hanya sampai dua tahun.
Saya merasakan bagaimana keluarga besar saya berusaha menghalangi saya untuk berhubungan dengan ayah saya, apalagi pergi tinggal bersama ayah saya.
“Nanti kalau kamu ke ayah, pasti akan dimasukan Islam. Apalagi kan disana ada ibu tiri.” Bergitu kata nenek saya.
Ketika berusia 22 tahun saya nekad mencari ayah saya. Saya diterima dengan baik. Namanya saja anak kandung, walau ayah saya tahu bahwa saya beragama Kristen dan sekolah Theologia. Ayah ndak pernah menyinggung sedikitpun soal itu.
Dua tahun tinggal bersama ayah dan ibu tiri, kemudian saya merantau selama sepuluh tahun di Kalimantan. Soal pekerjaan, saya bekerja apa saja, yang penting halal.
Di Kalimantan saya bertemu dnegan sepupu sekali dari pihak ibu. Kepada kakak sepupu saya itu saya menyampaikan keluh kesah soal identitas saya. Masalahnya, menjadi pertanyaan saya, mengapa sampai nama saya harus diganti.
Saya ndak menyangka kalau sepupu saya justru sangat rasional. Maksudnya, tidak sama dengan nenek saya, paman dan bibi saya (orang tua dari sepupu saya itu)
” Ayah kamu itu kan bukan penjahat, bukan narapidana. Apalagi ayah kamu nikah resmi dengan ibu kamu. Apa alasan sehingga soal nama yang diberikan oleh ayah kamu harus diganti-ganti. Itu ndak benar. ” Begitu kata sepupu saya yang perwira menengah polisi.
“Tapi kan, kalau saya kembali ke nama saya yang asli, bagaimana dengan nenek, bagaimana dengan paman (ayah sepupu saya itu). ” Kata saya
” Ya biar saja. Marah paling hanya sebentar. Kalau kamu ada kelebihan rejeki, kirimi saja uang, nanti pasti ndak marah lagi. ” Begitu pendapat sepupu saya yang memang suka bicara singkat dan praktis cara berpikir.
Beberapa tahun kemudian saya memutuskan masuk Islam(atau kembali ke agama semula ? ). Saya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan Imam Masjid di Kuala Kapuas Kalimantan Tengah.
Saya pun menyurati ibu saya, menceritakan keputusan yang telah saya ambil..
Ibu membalas surat saya secara singkat, isinya : apa yang menjadi pilihan anakda sudah benar. Yang penting benar-benar diamalkan .
0 komentar:
Posting Komentar